Home » » Cara Melunasi Hutang Puasa Orang Yang Sudah Meninggal. Bag. 2

Cara Melunasi Hutang Puasa Orang Yang Sudah Meninggal. Bag. 2

Hutang Puasa Orang Yang Sudah Meninggal

  
Dalam Masail Imam Ahmad, riwayat Abu Daud, beliau mengatakan:

سمعت أحمد بن حنبل قال: لا يُصامُ عن الميِّت إلاَّ في النَّذر، قُلْتُ لِأَحْمَدَ: فَشَهْرُ رَمَضَانَ؟ قَالَ: يُطْعَمُ عَنْهُ

“Saya mendengar Ahmad bin Hambal berkata, ‘Tidak boleh dipuasakan atas nama mayit kecuali puasa nadzar.’ Aku (Abu Daud) tanyakan kepada Ahmad, ‘Bagaimana dengan utang puasa Ramadhan?’ beliau menjawab, ‘diganti fidyah’.” (Al-Masail Imam Ahmad, riwayat Abu Daud, Hal. 96).

Mereka berdalil dengan banyak riwayat tentang qadha puasa untuk orang yang meninggal, dan menegaskan bahwa yang wajib diqadhakan atas nama mayit adalah puasa nadzar dan bukan puasa Ramadhan.

Di antara hadis tersebut adalah:

Pertama, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menceritakan;

Ada seorang wanita yang naik perahu di tengah lautan, kemudian dia bernadzar, jika Allah menyelamatkannya maka dia akan berpuasa sebulan. Ternyata Allah menyelamatkannya, namun dia belum melaksanakan puasa nadzarnya sampai mati. Maka datanglah putrinya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia ceritakan perihal ibunya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أرأيتك لو كان عليها دَيْن كُنتِ تقضينه؟

“Apa menurutmu, jika ibumu memiliki utang, apakah engkau harus melunasinya?”

Wanita itu menjawab, “Ya”

Nabi pun melanjutkan,

فَدَيْن الله أحق أن يُقضى، فـاقضِ عن أمّك

“Utang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan. Karena itu, bayarlah puasa untuk ibumu.” (HR. Abu Daud, Nasai, At Thahawi, Baihaqi, dan yang lainnya).

Kedua, dari Sa’d bin Ubadah radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ibuku meninggal, sementara beliau punya kewajiban nadzar.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tunaikan nadzarnya.” (HR. Bukhari 2761 dan Muslim 1638)

Bagaimana dengan hadis Aisyah yang pertama, yang menyebutkan secara mutlak?

Ulama Madzhab Hambali memahami hadis ini untuk puasa nadzar. Karena Aisyah yang meriwayatkan hadis tersebut juga memahami sebagai puasa nadzar dan bukan utang puasa Ramadhan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat dari Amrah (salah satu murid dekat Aisyah), bahwa ibunya meninggal, sementara beliau masih memiliki utang puasa. Beliau bertanya kepada gurunya (Aisyah): “Apakah boleh aku mengqadha puasa untuk ibuku?” Aisyah menjawab,

لا بل تصدَّقي عنها مكان كل يوم نصف صاعٍ على كل مسكين

“Tidak perlu, namun bersedekahlah (baca: bayar fidyah) atas nama ibumu, untuk satu hari puasa dibayar dengan setengah sha’ (sekitar 1,5 kg) bahan makanan, diberikan untuk orang miskin.” (HR. Thahawi 3:142, Ibnu At-Turkumani mengatakan: Shahih).

Demikian pula diriwayatkan Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

إِذا مرض الرجل في رمضان، ثمّ مات ولم يصم؛ أطعم عنه ولم يكن عليه قضاء، وإن كان عليه نَذْر قضى عنه وليُّه

“Apabila seseorang sakit di bulan Ramadhan, kemudian mati dan belum membayar utang puasa, maka dia ganti dengan memberi makan (fidyah), dan tidak ada qadha. Namun jika dia memiliki utang puasa nadzar maka diqadha oleh walinya atas nama mayit.” (HR. Abu Daud 2401 dan dishahihkan Al-Albani)

Demikian keterangan yang diturunkan dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, Husain Al-Awayisyah.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Catatan Penting:
Dengan menyimak tulisan pada bagian pertama dan kedua jelas terlihat bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dan masing-masing ulama punya dalil yang kuat, diantara dua pendapat para ulama tersebut Ustadz Ammi Nur Baits memilih pendapat bahwa Cara Melunasi Hutang Puasa Orang Yang Sudah Meninggal adalah dengan membayar Fidyah

Insya Allah Bersambung ke pembahasan rincian tentang Pendapat yang mengatakan bahwa Cara Melunasi Hutang Puasa Orang Yang Sudah Meninggal adalah dengan qadha.

eninggal Dunia Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadhan

5 komentar:

  1. iya, yang berbeda pendapat seperti ini kadang membingungkan. tapi artinya secara preseden, bisa keduanya kan..

    BalasHapus
  2. @zachflazzbenar pak.., Insya Allah bs keduax.., insya Allah besok sy rincikan pendapt yg memilih tuk qadho... :)

    BalasHapus
  3. perbedaan yang bersifat furu'iyah sebaiknya tidak menjadi perdebatan agar tidak terjadi perpecahan, nice sharing sob:}

    BalasHapus
  4. Sharing artikel dr Konsultasi Syariah-nya insya Allah sangat bermnfaat bagi kita semua. Ditunggu share artikel lainnya, baik dari www.konsultasisyariah.com maupun dari lainnya. Salam hangat dan jabat erat persaudaraan!

    BalasHapus