Home » » Penjelasan tentang sifat malu

Penjelasan tentang sifat malu


Putri Malu

Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Sesungguhnya di antara apa yang didapati manusia dari kalam nubuwwah yang terdahulu adalah “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah semaumu”
(HR. Al Bukhori no. 6120)

Al Imam Al Khoththobi rohimahullohu mengatakan yang bisa mencegah seseorang terjatuh dalam kejelekan adalah rasa malu, sehingga bila dia tinggalkan rasa malu itu, seolah-olah dia diperintah secara tabiat untuk melakukan segala macam kejelekan.
(lihat Fathul Bari, 10/643)

Al Hafizh Ibnu Hajar rohimahullohu menukilkan dari Ar Roghib bahwa malu adalah menahan diri dari perbuatan jelek dan ini merupakan kekhususan yang dimiliki manusia agar dia dapat berhenti dari berbuat apa saja yang dia inginkan, sehingga dia tidak akan seperti hewan.
(lihat Fathul Bari, 1/102)

Malu hanyalah yang mendatangkan kebaikan
dari Imron bin Hushain rodhiyallohu anhu, beliau berkata bahwa Rasululloh Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda :
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan.”
(HR. Al Bukhori no. 6117 dan Muslim no. 37)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran bin Husain]

Jika ada yang bertanya: “kok bisa malu itu semuanya baik? bukankah kita mendapati ada orang yang malu untuk berbuat baik? atau malu untuk meninggalkan maksiatnya?”
Dijawab: “Jika rasa malu pada diri seseorang menghalanginya melakukan kebaikan atau mendorongnya berbuat kemaksiatan, atau menghalanginya untuk menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang dia hormati atau dia cintai, maka pada hakikatnya ini bukanlah malu, melainkan sikap lemah.”
Ibnu Rajab Al-Hambali ketika menjelaskan hadits ‘Imran bin Hushain tentang malu, mengatakan bahwa malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan.
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/502)

Dua jenis malu
1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]

Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman.
Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”
[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).]

Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata,
“Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau yang lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”
[Fathul Bâri (X/522).]

2). Malu yang timbul karena adanya usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.
[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]

Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Sufyan berkata,
فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
Artinya :“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).]

Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.

Malu termasuk salah satu cabang dari cabang-cabang keimanan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]

Beliau juga bersabda:
الْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِيْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ وَالجَفَاءُ فِي النَّارِ
“Malu itu termasuk keimanan, dan keimanan itu di dalam al jannah, sementara kekejian itu termasuk kekerasan, dan kekerasan itu tempatnya di an naar.”
(HR. At Tirmidzi no. 2009, dishohihkan Syaikh Al Albani rohimahullohu dalam Shohih Sunan At Tirmidzi)

“Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Hendaklah kamu benar-benar malu kepada Allâh!”.
Kami mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, al-hamdulillah kami malu (kepada Allah)”.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى
“Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi (yang dimaksud) benar-benar malu kepada Allâh adalah engkau menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan apa yang berhubungan dengannya;
وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى
dan hendaklah engkau mengingat kematian dan kebinasaan.

وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا
Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia meninggalkan perhiasan dunia.
فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Barangsiapa telah melakukan itu, berarti dia telah benar-benar malu kepada Allâh Azza wa Jalla.”
[HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh al-Albâni rahimahullah menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîhut Targhîb, 3/6, no. 2638, penerbit. Maktabah al-Ma’ârif]

Malu adlaah sifat Allah, dan Allah cinta terhadap orang-orang yang memiliki sifat malu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”
[Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la Radhiyallahu 'anhu]

Malu merupakan sifat malaikat
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda tentang keutamaan shahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu:
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”

[Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)]
Malu merupakan sifat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
Rasulullah sendiri adalah seorang yang memiliki sifat sangat pemalu. Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu akan sifat malu beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam:
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya pada wajah beliau.”
(HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320)

Malu adalah akhlaq islam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”
[Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]

Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu ‘anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya,
“Sungguh, malu telah merugikanmu.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.]

Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata,
“Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.”
[Fathul Bâri (X/522)]

Benar, jika seseorang memiliki rasa malu dengan sebenar-benarnya, maka ia akan merasa malu dalam berbuat kemaksiatan! Ia memikirkan bahwa Allah-lah Yang telah menciptakanNya dan Allah-lah Yang telah memberi segala macam nikmat yang tidak terhitung kepadanya; maka dengan ini, ia tidak sanggup untuk berbuat maksiat kepadaNya karena ia takut apabila ia termasuk orang yang KUFUR NIKMAT terhadap segala macam nikmat yang telah Allah berikan padaNya.

Dan keutamaan paling besar ketika seseorang memiliki rasa malu yang tertanam dalam lubuk hatinya adalah ia menjadi hamba yang senantiasa mensyukuri nikmat Rabbnya, dengan mentauhidkanNya (yaitu beribadah kepadaNya, dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun ketika beribadah kepadaNya) dan bertakwa kepadaNya (yaitu dengan mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya).

Sifat malu, adalah tolak ukur keimanan seseorang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”
[Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200)]

Maka orang yang kuat keimanannya kepada Allah, maka akan kuat rasa malu dalam hatinya. Sebagaimana orang yang kuat rasa malunya adalah bukti dari kuatnya keimanannya kepada Allah. Sebaliknya, orang yang lemah keimanannya kepada Allah, maka akan sedikit rasa malunya. Sedikit rasa malunya tersebut, adalah tanda dari sedikitnya keimanannya kepada Allah. Maka jika telah hilang sama sekali rasa malu dalam diri seorang manusia, maka ditakutkan telah hilang keimanan yang ada dalam hatinya. Na’uudzubilaah!

Menutup aurat termasuk dalam sifat malu
dari Bahz ia berkata; telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Kakekku ia berkata; saya bertanya kepada Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam;
“Wahai Rasulullah, dimanakah kami harus menutup aurat kami dan dimana kami boleh menanggalkannya (tidak terjaga)?.”
Beliau bersabda:
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali dihadapan istrimu atau budak wanitamu.”
Aku berkata lagi; “Kalau dihadapan sejenis?.”
Beliau menjawab:
إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا
“Jika kamu mampu, maka jangan sampai ada orang yang melihatnya!.”
Aku berkata lagi; “Apabila kami dalam keaadaan sendiri?
Beliau pun menjawab:
فَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ

Di hadapan Allah Tabaraka Wa Ta’ala kamu lebih berhak untuk malu daripada di hadapan manusia!
Telah menceritakan kepada kami [Abdurrazzaq], telah menceritakan kepada kami [Ma'mar] dari [Bahz] -lalu dia menyebutkan hadits yang sama- dia berkata;
فَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ
“Dan di hadapan Allah mestinya kamu lebih berhak untuk malu, ” dia sambil meletakkan tangannya dikemaluannya.”

Telah menceritakan kepada kami Yunus dari Hammad bin Zaid berkata juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya diatas kemaluannya.”
(HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Al-Albaaniy dalam Hijaab al Mar-ah)
Maka kemanakah rasa malu ditengah-tengah kaum muslimin saat ini? mereka -baik pria dan wanita- tidak malu untuk mempertontonkan aurat-aurat mereka! bahkan sebagian dari mereka tidak malu untuk berbuat maksiat secara terang-terangan!

Wahai orang-orang yang mempertontonkan auratnya didepan umum atau bermaksiat secara terang-terangan didepan umum! Ingatlah bahwa engkau dengan perbuatanmu tersebut adalah PENGRUSAKAN dimuka bumi ini. Mengapa demikian? Karena DAMPAK/EFEK yang engkau timbulkan karena kemaksiatan tersebut juga menimpa kepada orang lain, sehingga tersebarlah kerusakan disebabkan ulah tanganmu sendiri!

1. Engkau berdosa selama engkau mempertontonkan auratmu
2. Engkau MENANGGUNG DOSA setiap orang yang melihat auratmu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.
3. Engkau MENANGGUNG DOSA setiap kerusakan yang terjadi yang diakibatkan ulahmu karena mempertontonkan aurat atau bermaksiat secara terang-terangan!

Ingatlah betapa banyak dan betapa besar dosa yang engkau tanggung! Tidak cukupkah peringatan ini bagi orang yang BERIMAN kepada Allah DAN HARI AKHIR?!

Malu adalah mahkota kaum muslimin -TERUTAMA untuk wanita muslimah-
Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu”
[Al-Qashash: 25]

Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang.

Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.

Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam.

Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.
[Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 153)]

Dalam sebuah kisah, ‘Aisyah radhiyyallahu ‘anha pernah didatangi wanita-wanita dari Bani Tamim dengan pakaian tipis, kemudian beliau berkata,
“Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”
[disebutkan dalam Ghoyatul Marom (198) dan syaikh al-albaaniy belum sempat meneliti sanadnya]

Bagaimanakah pakaian wanita yang MUSLIMAH?
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Ahzab: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata:
“Ayat yang disebut dengan ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dengan mendahulukan istri dan anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, dan juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dengan keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain.

Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
(yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.”
(Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Abu Malik berkata:
“Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, dan sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dalam hal menutup wajah dan dua telapak tangan.”
(Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Dan peringatan ini tidaklah hanya ditujukan kepada para wanita muslimah saja, namun juga kepada kaum lelaki dari kalangan kaum muslimin. Yaitu mereka-mereka yang berprofesi sebagai fotomodel, binaragawan, dll. Yang MEMPERTONTONKAN aurat-aurat mereka tanpa ada rasa malu!

Buah dari rasa malu
Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa’ (setia/menepati janji).

Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata,
“Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela.

Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.
Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.
[Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 55).]

Beliau melanjutkan,
“Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya.
Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia!

Siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala.
Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”
[Ibid (hal. 55).]

Semoga bermanfaat
Sumber : http://abuzuhriy.com

0 komentar:

Posting Komentar