Home » » Berandai-Andai Dalam Timbangan Tauhid

Berandai-Andai Dalam Timbangan Tauhid

Berandai-Andai


Saudaraku, semoga Alloh melimpahkan taufik kepada kita semua, kenyataan terkadang membuat seseorang harus menggigit jari. Karena apa yang diinginkannya tidak tercapai, maka mulailah pikirannya melayang-layang dan berandai-andai. Seandainya dulu begini, seandainya kemarin tidak begitu, dan seterusnya. Nah, bagaimanakah Islam memandang pengandaian?

Segala Sesuatu Terjadi Dengan Takdir

Iman kepada takdir adalah salah satu pilar Islam. Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diketahui oleh Alloh sebelum hal itu terjadi. Dan Alloh juga telah memerintahkan pena takdir untuk mencatat segala peristiwa yang akan terjadi hingga hari kiamat 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Kehendak Alloh pasti terlaksana, tidak ada yang bisa mengelakkannya. Semua makhluk dan perbuatannya merupakan buah dari ciptaan-Nya. Hal ini tentu akan membuat hati seorang yang beriman merasakan ketentraman. Dia akan beramal sebaik-baiknya dan berprasangka baik kepada Alloh Ta’ala. Alloh sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Maka salah satu sifat yang harus dipunyai oleh seorang muslim ialah bersikap pasrah terhadap takdir dan tidak memprotes keputusan Alloh Ta’ala. Sehingga apabila musibah menimpa maka hati mereka merasa ridha terhadap perbuatan-Nya dan bersabar dalam menghadapi musibah. Inilah kewajiban kita.

Bersemangatlah!

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata, ‘Seandainya aku dulu berbuat begini niscaya akan menjadi begini dan begitu’ Akan tetapi katakanlah, ‘QaddarAllohu wa maa syaa’a fa’ala, Alloh telah mentakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya’. Karena perkataan seandainya dapat membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim)

Imam Ibnu Qayyim rohimahulloh mengatakan, “Letak kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini: ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya…”

Beliau rohimahulloh juga mengatakan, “Karena munculnya semangat dalam diri seseorang serta perbuatannya hanya bisa terwujud dengan pertolongan serta kehendak dan taufik dari Alloh maka beliau (Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) memerintahkan supaya (kita) meminta pertolongan-Nya. Demi tergabungnya maqam iyyaaka na’budu (melakukan peribadahan) dan maqam iyyaaka nasta’iin (memohon pertolongan) di dalam dirinya. Oleh karena semangat seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya termasuk ibadah kepada Alloh. Sedangkan hal itu tidak akan bisa diwujudkan kecuali dengan pertolongan Alloh. Maka beliau pun memerintahkan (kita) untuk beribadah dan sekaligus meminta pertolongan kepada-Nya.” (Ibthaalu tandiid, Syaikh Hamad bin’Atiq)

Hasil yang Tidak Memuaskan

Pahit…! Hasil yang kita idam-idamkan tidak menjadi kenyataaan. Sudah belajar mati-matian tapi kok tidak lulus ujian. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap? Menjadi orang yang lemah ataukah menjadi sosok yang tabah? Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang kita merasa lemah. Karena perasaan lemah ketika tertimpa musibah akan membangkitkan celaan, protes serta kemarahan dan sedih di dalam diri. Padahal itu semua termasuk ulah syaithan. Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengucapkan “Seandainya demikian maka demikian” karena ucapan itu akan membuka celah munculnya hal-hal tersebut. Orang yang tabah menyadari bahwa semuanya sudah ditakdirkan. Dia tidak menyesali kesungguhan dan upaya yang sudah ditempuhnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan kita untuk berkata, “QaddarAllohu wa maa syaa’a fa’ala”. Biarlah terjadi karena memang itulah yang sudah ditakdirkan Alloh. Tiada gunanya mengeluh dan berandai-andai. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh mengatakan bahwa salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas ialah “Adanya larangan yang sangat tegas dari mengucapkan seandainya ketika musibah menimpa anda” (Kitab Tauhid). Pengandaian ini haram karena adanya unsur penyesalan, kesedihan dan tidak mau menerima kenyataan.

Macam-Macam Pengandaian

Para pembaca yang budiman, selain bentuk pengandaian yang telah disebutkan di atas, ada juga bentuk pengandaian terlarang yang lainnya yaitu apabila ditujukan untuk: (1) Menentang hukum syari’at. Seperti ucapan kaum munafik yang membelot dari pasukan kaum muslimin, “Seandainya mereka (para sahabat) menaati kami (membelot dan tidak taat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) niscaya mereka tidak akan terbunuh (dalam perang Uhud)”. Ucapan ini haram dan bahkan bisa menjerumuskan ke dalam kekafiran (2) Menentang takdir. Seperti ucapan, “Seandainya aku tidak dilahirkan oleh ibuku”. Perkataan semacam ini haram karena di dalamnya terdapat penolakan terhadap takdir. (3) Beralasan dengan takdir untuk melegalkan kemaksiatan. Seperti perkataan orang-orang kafir, “Seandainya Alloh ingin niscaya kami tidak akan berbuat syirik” (Al An’aam: 148) Ini jelas batil dan haram hukumnya. (5) Untuk berangan-angan yang tercela. Misalnya dengan berkata, “Seandainya aku punya uang aku akan membeli khamr”. Maka dengan tekad dan ucapan semacam ini dia juga berdosa, sebagaimana orang yang benar-benar melakukannya mendapatkan dosa.

Akan tetapi ada pengandaian yang diperbolehkan: (1) Berandai-andai dalam mengangankan sesuatu yang terpuji. Misalnya mengatakan, “Seandainya saya punya harta saya akan bersedekah sebagaimana si fulan.” (2) Berandai-andai untuk sekedar mengabarkan keadaan. Sepeti perkataan, “Seandainya kamu tadi datang pelajaran niscaya kamu mendapatkan faidah yang berharga.” Seperti sabda Nabi, “Seandainya kaummu bukan orang yang baru masuk Islam niscaya akan aku pulihkan bangunan ka’bah di atas pondasi yang diletakkan oleh Ibrahim.” (lihat Al Qaul Al Mufid, Syaikh Al ‘Utsaimin dan Ibthaalu tandiid, Syaikh Hamad bin ‘Atiq rohimahumalloh)

Para pembaca yang mulia, sudah seyogyanya kita terapkan ilmu ini dalam keseharian kita. Ketika kita tidak berhasil memperoleh apa yang kita inginkan. Janganlah terbuai dengan pengandaian dan angan-angan. Karena hal itu akan membuka jalan syaithan untuk berkeliaran menusuk-nusuk hati kita dengan perasaan jengkel, protes dan marah terhadap takdir Alloh. Padahal kita tahu, Alloh Maha adil dan bijaksana. Bisa jadi musibah ini merupakan sebab terhindarnya kita dari bencana yang lebih dahsyat darinya. Alloh lebih tahu apa yang lebih bermanfaat bagi kita. Adapun kita, kita ini bodoh dan zalim. Maka marilah kita dalami lagi agama-Nya dan berintrospeksi diri sekali lagi. Perintah apa yang kita lalaikan, larangan apa yang kita terjang, dimanakah letak kekeliruan kita, jangan-jangan selama ini dosa kita sudah menggunung tanpa kita sadari, atau kita tidak ikhlas. Atau selama ini kita berusaha semata-mata mengandalkan diri sendiri dan lalai dari memohon pertolongan Alloh, sehingga Alloh pun membiarkan kita mengurusi diri kita sendiri. Nas’alulloha salamatan wal ‘afiyah.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

0 komentar:

Posting Komentar