Home » » Ucapan Selamat Hari Raya dan Takbir

Ucapan Selamat Hari Raya dan Takbir


Umat Islam Indonesia pada Hari Raya Iedul Fitri biasa mengucapkan Minal ‘aidin wal faizin (dibaca: minal ‘aaidiin wal faaiziin). Ucapan ini untuk menghormati dan mendoakan kepada orang yang dijumpai sambil saling berjabat tangan. Do’a dan penghormatan ini artinya: Semoga kita bersama akan kembali ber- Hari Raya lagi dan termasuk golongan orang-orang yang beruntung.

Dalam perkembangannya, do’a dan ucapan selamat ini bukan hanya diucapkan oleh orang yang saling berjumpa tetapi lebih jauh dari itu sebagai ‘wakil perjumpaan’ diujudkan dalam berbagai bentuk dan lewat aneka sarana. Ada yang berbentuk tulisan lewat kartu- kartu lebaran, iklan di koran, majalah, televisi, radio, ucapan lewat telegram atau langsung lewat telepon, dan yang banyak lewat sms (pesan singkat lewat telepon genggam). Bahkan kini di gedung-gedung perkantoran dipasang hiasan ucapan selamat Hari Raya itu dengan jenis tulisan yang mirip kaligrafi disinari cahaya bolam-bolam kecil berwarna hijau dan sebagainya.

Kalau kita diucapi Minal ‘aidin wal faizin biasanya kita jawab dengan wal maqbulin amien (dibaca: wal maqbuuliin aamiin, artinya: dan mudah-mudahan termasuk orang-orang yang perbuatan baiknya diterima Allah, semoga Allah mengabulkan do’a kita).

Kebiasaan itu entah dari kapan beredaranya, tampaknya belum ada sejarah khusus tentang ini. Namun pada periode ulama masa lalu sudah berlangsung kebiasaan mengucapkan lafal itu. Pada masa ‘hangat-hangatnya’ menghajar bid’ah tempo doeloe, masalah kalimat semacam itu tidak dapat digolongkan bid’ah dholalah’ (ciptaan baru yang sesat, pen) yang tidak boleh dikerjakan, karena ini hanyalah ucapan biasa yang mengandung do’a.

Selanjutnya Ulama ini menjawab pertanyaan tentang yang diucapkan pada Hari Raya pula yaitu kalimat Taqobbalallahu minna wa minkum (dibaca: taqobbalalloohu minnaa wa mingkum, artinya Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan amal ibadah anda).

Tulis Ustadz Umar Hubeis: ‘Menurut keterangan Prof TM Hasby ash Shiddieqy dalam suratnya kepada kami, kalimat taqobbalallahu minnaa wa minka adalah kalimat yang digunakan oleh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ucapan selamat pada Hari Raya. Sunnah ini diriwayatkan dengan sanad hasan (pertalian periwayatnya baik, pen) oleh Juber ibnu Nafir, dia berkata bahwasanya sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada Hari Raya masing-masing berkata kepada yang lainnya: Taqobbalallaahu minaa wa minka. (Fiqhus Sunnah II). Sebaiknya kita kembali kepada sunnah mereka itu serta menghidupkannya. (Umar Hubeis, Fatawa, cet 8, 1994 hal 279).

Kalau kita simak dalam kitab Fiqhus Sunnah memang ada sub bab Disenangi ucapan selamat pada hari raya: Dari Juber bin Nafir ia berkata: Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu ketika mereka saling berjumpa pada Hari Raya sebagian mereka mengucapkan kepada lainnya: taqobbala minnaa wa minka (semoga Allah menerima kami dan kamu). (Fiqhus Sunnah jilid I hal: 274). Hadits ini menurut Al-Hafidh, derajat sanad (pertalian periwayatnya) hasan/ baik.
Dalam hal ‘Selamat Hari Raya’ ini ulama yang termasuk kencang mengoreksi bid’ah-bid’ah seperti Ustadz Umar Hubeis tidak menghukumi bid’ah dholalah ucapan Minal ‘aidiin wal faizin, hanya menganjurkan agar kembali kepada ucapan para sahabat taqobbalallaahu minnaa wa minkum. Kini dalam pergaulan, ucapan selamat itu dipakai dua-duanya, bahkan kadang ada lagi ucapan Kullu ‘aamin wa antum bi khoir (mudah-mudahan Anda dalam keadaan baik sepanjang tahun).

Tidak ada bab khusus
Kenapa Ulama yang ketat dalam hal bid’ah pun tidak menghukumi bid’ah dholalah (sesat) terhadap ucapan _minal ‘aidin wal faizin_, tampaknya bisa ditelusuri dari kitab-kitab Hadits. Dilihat dari kitab _Miftaahu kunuuzis sunnah (kunci gudang-gudang hadits) memang tidak ditemukan bab khusus mengenai ucapan selamat di Hari Raya.

Bab-bab yang ada di kunci kitab-kitab Hadits itu di antaranya: Khutbah (Ied) setelah sholat; sedang (Khalifah) Marwan bin Hakam menyelisihi Sunnah ini. Bab-bab penyembelihan qurban, bab nyanyian dua budak perempuan di Hari Raya di sisi Aisyah, bab mandi Hari Raya, larangan puasa di Hari Raya, Orang Habsyi main anggar di Hari Raya, sholat kemudian menyembelih korban di Iedul Adha, takbir dalam sholat, membaca Al-Qur’an di Hari Raya, dan Nabi menganjurkan para wanita bersedekah di Hari Raya. Juga tentang keluar ke musholla (artinya tanah lapang) pada Hari Raya, keluar ke musholla (lapangan) tanpa mimbar, tidak ada adzan dan iqomat untuk sholat Ied, takbir di hari-hari raya, bab apabila Hari Raya jatuh hari Jum’at, sunnat memilih jalan lain ketika pulang sholat Ied, apabila kehabisan/ ketinggalan ied maka sholat 2 roka’at, dua roka’at setelah sholat ied, sholat di masjid pada hari (Ied) hujan, larangan membawa senjata di hari Ied, makan pagi sebelum menyaksikan sholat Iedul Fitri, dan tidak makan kecuali setelah sholat Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pergi (ke lapangan) pada Iedul Fitri sebelum makan beberapa kurma, tentang keluar ke (lapangan) Ied jalan kaki, khutbah Nabi di hari Ied, Nabi menyuruh puteri-puterinya dan isteri-isterinya untuk keluar ke (lapangan) Iedul Fitri dan Iedul Adha, anjuran kepada wanita untuk menyaksikan ke lapangan (tempat) sholat pada Hari Ied, memotong rambut dan kuku pada Iedul Adha, apakah wanita yang sedang haidh menyaksikan Ied di musholla (lapangan).

Bab yang terakhir itu, ada Hadits:
عَنْ { أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ , وَالْأَضْحَى : الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ , وَذَوَاتَ الْخُدُورِ , فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ , وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ , قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ , إحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ ؟ قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا }
Hadits dari Ummu Athiyah ia berkata,” Bahwa Nabi saw memerintahkan kami agar mengajak keluar di Hari Raya Fithri dan Adha: anak-anak perempuan yang telah mendekati baligh dan para gadis, beliau memerintahkan agar yang sedang haidh menjauh dari tempat shalat. Dan hendaklah mereka menyaksikan kebaikan dan da’wah muslimin. Aku (Ummi ‘Athiyah) katakan: Ya Rasulallah, salah satu dari kami tidak ada padanya jilbab? Beliau menjawab: Agar saudarinya memakaikan padanya dari (salah satu) jilbabnya.” (HR Muslim).

Dari bab hadits-hadits di atas tidak ditemukan bab khusus tentang ucapan selamat pada Hari Raya, baik Iedul Fitri maupun Iedul Adha. Padahal tentang Nabi selalu makan kurma sebelum berangkat ke lapangan Iedul Fitri saja ada babnya tersendiri. Kemudian adanya riwayat tentang ucapan selamat sesama para sahabat itu hanya perlakuan para sahabat, tidak langsung disuruh oleh Nabi Muhammad SAW. Perlakuan para sahabat itu pantas ditiru, namun tidak bisa untuk memvonis bahwa ucapan selamat yang tidak persis dengan perlakuan para sahabat berarti tak boleh. Makanya ulama yang ‘ketat’ pun tampaknya tidak membid’ah dholalah_kan ucapan _Minal ‘aidiin wal faizin_.

  Kenapa tidak dikhususkan secara ketat ucapan selamat atau_tahni’ah itu padahal Hari Raya itu sebenarnya adalah hari bergembira bagi Muslimin? Ini bisa dianalisis, kalau kita lihat aturan agama dalam hal hubungan sesama manusia memang ada yang diatur secara ketat seperti hukum pembagian harta waris, wanita-wanita yang dilarang untuk dinikahi dan sebagainya. Tetapi banyak pula yang justru longgar seperti tentang cara-cara bermusyawarah dan sebagainya. Nah, ucapan selamat di Hari Raya itu tampaknya termasuk hal yang cukup longgar, walau ada ucapan sesama sahabat yakni _taqobbalallaahu minnaa wa minkum._

Tuntunan takbir
Justru yang dituntun adalah dalam hal bertakbir kepada Allah, pada Hari Raya, yang paling shahih yang diriwayatkan Abdur Razzaq dari Salman dengan sanad shahih ia berkata: bertakbirlah kalian:
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar kabiiroo. Dan datang dari Umar dan Ibnu Mas’ud:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ .
Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallaahu, wallaahu akbar, Allahu akbar, walillaahil hamd. (Fiqhus Sunnah, 275).

Takbir menurut riwayat tersebut _Allahu akbar_nya dua kali. Sedang takbiran yang _Allahu akbar-nya tiga kali diriwayatkan dengan perantara Yazid bin Zinad dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Di Indonesia biasanya yang dipakai yang tiga kali-tiga kali, karena Imam Malik dan Imam Syafi’i memilih itu. Ustadz Umar Hubeis memfatwakan, boleh Allahu akbar dua kali, boleh tiga kali

Adapun tambahan-tambahan di luar lafal Takbir yang telah tersebut itu menurut kitab _Ihkamul Ahkam syarah _’Umdatul Ahkam_, tidak ada asal-usulnya. (juz 2 hal 133).

Bertakbir dengan benar, baik lafal maupun waktu-waktunya (Iedul Fitri dari maghrib satu syawal sampai sholat Ied; Iedul Adha dari shubuh 9 Dzulhijjah sampai ‘ashar 13 Dzulhijjah) adalah tindakan sunnat. Sedang mengucapkan selamat kepada sesama adalah hal yang mustahab (disukai untuk dikerjakan). Karena semua ini masih berkaitan dengan tuntunan ibadah, maka kembali kepada asalnya itulah yang lebih afdhol (utama). Pertama, lebih menjaga otentisitas (kemurnian), dan kedua bersifat universal, sama sedunia. Terbukti, direktur Pusat Islam di Den Haag Holland pun mencetak kartu lebaran dengan ucapan _Taqobbalallahu minnaa wa minkum_, hanya saja ditambahi kata _sholihal a’mal (amal baik) sebagai penjelas ucapan.

Kepada Allah kita memuji dan bertakbir, sedang kepada sesama manusia kita mengucapi selamat. Itulah takbir dan tahni’ah dalam Hari Raya, suatu amal berupa kata-kata, di samping perbuatan nyata lainnya.

Sumber :  http://nahimunkar.com/ucapan-selamat-hari-raya-dan-takbir/

0 komentar:

Posting Komentar