Home » , , » Puasa dan lebaran Bersama Pemerintah, Bukan Bersama Organisasi Tertentu

Puasa dan lebaran Bersama Pemerintah, Bukan Bersama Organisasi Tertentu

Puasa dan lebaran Bersama Pemerintah


Keterangan berkaitan Video:
Sumber : http://konsultasisyariah.com
Materi: Penentuan Awal Ramadhan Ikut Pemerintah atau Ormas Islam?
Narasumber: Ustadz Zainal Abidin, Lc. (Staf Ahli Syariah Majalah Pengusaha Muslim)

Pada video ini, Ustadz Zainal Abidin, Lc. menjawab sebuah pertanyaan klasik di negeri kita, yaitu tentang penentuan awal Ramadhan, apakah mengikuti keputusan pemerintah, ormas Islam, ataukah mengikuti negeri Arab Saudi? Semoga penjelasan singkah dari Ustadz Zainal dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kaum muslimin seputar penentuan awal Ramadhan. Selamat menyaksikan.
----------------------------------------------  

Puasa dan lebaran Bersama Pemerintah, Bukan Bersama Organisasi Tertentu 

Al Ustadz Mubarak Bamuallim. Lc

Perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin; sejak zaman Rasulullah shallallahualaihi wasallam , Khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu anhum serta penguasa-penguasa kaum muslimin lainnya bahwa idul fitri(1) selalu ditetapkan oleh para Waliyyul Amr (penguasa kaum muslimin). Mengapa demikian? karena Idul fitri– demikian pula puasa Ramadhan dan ‘Idul Adha– adalah ibadah yang bersifat kolektif bersama seluruh kaum muslimin. Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hari ketika kalian semua beridulfitri dan Idul Adha ketika kalian semua beriduladha” (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam “Sunannya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam “Silsilah ash-shahihah no : 224).
Aisyah radhiyallahu anha berkata :

النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ ، وَ اْلفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
Hari Raya Kurban ketika manusia berkorban dan hari Idul Fitri ketika manusia beridulfitri”.
Demikian pula sejak zaman Nabi shallallahualaihi wasallam sampai hari ini seluruh Negara muslim menetapkan permulaan puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan hilal, kecuali salah satu organisasi di negeri kita yang katanya; mengajak umat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi dalam masalah ini meleset dari ajaran keduanya, hanya kepada Allah kita mengadu.

Setelah membawakan hadits di atas, Imam Tirmidzi berkata :
فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمُعْظَمِ النَّاسِ
Sebagian ulama mentafsirkan hadits ini dengan mengatakan, makna hadits ini bahwasanya puasa dan Idul Fitri dilaksanakan bersama jama’ah dan mayoritas umat Islam”.

Ash-Shan’ani berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ ، وَيَلْزَمُهُ حُكْمُهُمْ فِي الصَّلاَةِ ، وَاْلإِفْطَارِ ، وَاْلأُضْحِيَّةِ
(Dalam) hadits ini terdapat dalil bahwasanya ketetapan Id akan dianggap, jika sesuai dengan seluruh kaum muslimin dan bahwasanya seorang yang secara sendirian mengetahui hari Id dengan melihat (hilal), wajib baginya menyesuaikan dengan yang lainnya, dan merupakan kelaziman baginya hukum mereka dalam shalat, berbuka dan berkorban (Subulussalam 2/462).

Dalam “Tahdziibus Sunan”, Ibnul Qayyim berkata : “Dan dikatakan bahwa dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa seseorang yang mengetahui terbitnya bulan (munculnya hilal) dengan hisab (perhitungan) manaazil qamar, boleh baginya berpuasa dan berbuka sementara yang tidak mengetahui tidak boleh”.( Tahdziib as-Sunan 3/214).

Dalam “Hasyiyah Ibnu Majah” Abu Hasan as-Sindi berkata setelah menyebut hadits di atas : “Yang tampak dari makna hadits ini bahwasanya hal-hal seperti ini (penentuan awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha) bukan urusan perorangan dan mereka tidak bisa berbuat secara sendirian, akan tetapi urusannya diserahkan kepada penguasa/pemerintah dan jama’ah kaum muslimin dan wajib bagi perorangan mengikuti pemerintah dan jama’ah kaum muslimin”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
فَإِنَّا نَعْلَمُ بِالاِضْطِرَارِ مِنْ دِينِ اْلإِسْلاَمِ أَنَّ الْعَمَلَ فِي رُؤْيَةِ هِلاَلِ الصَّوْمِ أَوْ الْحَجِّ أَوْ الْعِدَّةِ أَوْ اْلإِيْلاَءِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ اْلأَحْكَامِ الْمُعَلَّقَةِ بِالْهِلاَلِ بِخَبَرِ الْحَاسِبِ أَنَّهُ يُرَى أَوْ لاَ يُرَى لاَ يَجُوزُ . وَالنُّصُوصُ الْمُسْتَفِيضَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ كَثِيرَةٌ . وَقَدّ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ . وَلاَ يُعْرَفُ فِيهِ خِلاَفٌ قَدِيمٌ أَصْلاً وَلاَ خِلاَفٌ حَدِيثٌ ؛ إلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ الْمُتَفَقِّهَةِ الحادثين بَعْدَ الْمِائَةِ الثَّالِثَةِ زَعَمَ أَنَّهُ إذَا غُمَّ الْهِلاَلُ جَازَ لِلْحَاسِبِ أَنْ يَعْمَلَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ بِالْحِسَابِ فَإِنْ كَانَ الْحِسَابُ دَلَّ عَلَى الرُّؤْيَةِ صَامَ وَإِلاَّ فَلاَ . وَهَذَا الْقَوْلُ وَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِاْلإِغْمَامِ وَمُخْتَصًّا بِالْحَاسِبِ فَهُوَ شَاذٌّ مَسْبُوقٌ بِاْلإِجْمَاعِ عَلَى خِلاَفِهِ . فَأَمَّا اتِّبَاعُ ذَلِكَ فِي الصَّحْوِ أَوْ تَعْلِيقُ عُمُومِ الْحُكْمِ الْعَامِّ بِهِ فَمَا قَالَهُ مُسْلِمٌ
“Sesungguhnya kita mengetahui secara pasti dari ajaran Islam bahwa pelaksanaan hal-hal yang berkaitan dengan hilal seperti puasa, haji, masa ‘iddah, ilaa’ (bersumpah untuk tidak mengumpuli isteri pada batas waktu tertentu) dan yang lainnya– pelaksanaan hal-hal tersebut – dengan berita seorang ahli hisab bahwa (hilal) bisa dilihat atau tidak bisa dilihat, tidak boleh.

Nash-nash dari Nabi shallallahualaihi wasallam dalam masalah terkait sangat banyak dan kaum muslimin telah sepakat tentangnya dan tidak pernah diketahui adanya khilaf sama sekali baik dahulu maupun sekarang. Hanya saja, sebagian orang yang belajar fikih yang datang kemudian setelah tiga abad pertama menganggap jika tidak kelihatan hilal, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengamalkan hasil hisabnya untuk dirinya sendiri. Jika hisab menunjukan terlihatnya hilal, ia berpuasa dan jika tidak maka tidak boleh.

Pendapat ini, meskipun berkaitan dengan kondisi tertutupnya hilal oleh awan dan husus berlaku bagi ahli hisab, namun pendapat ini syadz (aneh) dan telah didahului oleh ijma’ kesepakatan kaum muslimin yang bertolakbelakang dengannya.

Adapun mengikuti hisab dalam kondisi cuaca cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum dengannya (dengan hisab), maka tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat demikian.( 2)

Perlu ditambahkan di sini, bahwa tidak ada dalil baik dari al-Qur’an, hadits Nabi shallallahualaihi wasallam, ijma’ ulama muslimin dan petunjuk para salaf yang shaleh dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in bahwa penentuan awal puasa Ramadhan, idul Fitri dan Idul Adha di tangan pimpinan organisasi.

Semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati dan alam pikiran kita untuk lapang mengikuti kebenaran yang berdasarkan pada dalil dan bukan hawa nafsu. Dan semoga kita diberi petunjuk kepada kebenaran, amiin.

Foot Note :
  1. Juga penetapan puasa dan idul adha.
  2. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah 25/132-133, Kami katakan: kecuali beberapa gelintir pemikir beberapa organisasi Islam di Indonesia, hanya kepada Allah kita mengadu keanehan mereka.
Oleh : Al Ustadz Mubarak Bamuallim (Dosen STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya)

0 komentar:

Posting Komentar