Terkabulnya Do’a Jelek Orang Tua


Do’a orang tua yang baik dan jelek, kedua-duanya bisa terkabul. Terutama do’a jelek yang mesti diperhatikan karena jika anak tidak memperhatikan hal ini, ia bisa celaka karena do’a ortunya. Hal ini juga menunjukkan bahwa seorang anak sudah semestinya memuliakan dan menghormati kedua orang tuanya sehingga tidak sampai terkena do’a jelek mereka.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدَيْنِ عَلىَ وَلَدِهِمَا
"Ada tiga jenis doa yang mustajab (terkabul), tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizholimi, doa orang yang bepergian dan doa kejelekan kedua orang tua kepada anaknya." (HR. Abu Daud no. 1536, Tirmidzi no. 1905 dan Ibnu Majah no. 3862. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan. Hadits ini disebutkan pula oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 32).

Dalam hadits di atas disebutkan mengenai tiga orang yang mustajab do’anya:
1- Do’a orang yang terzholimi. Meskipun yang terzholimi adalah orang fajir (penuh maksiat), maka itu pun bisa mustajab. Sedangkan kefajirannya kembali pada dirinya. Begitu pula yang terzholimi di sini orang kafir, juga bisa terkabul.

2- Do’a seorang musafir (yang melakukan perjalanan jauh) dalam safar yang sifatnya boleh, bukan safar maksiat. Do’a ini mudah dikabulkan karena ketika di perjalanan ia sungguh-sungguh berharap pada Allah ketika meminta.

3- Do’a jelek dari orang tua. Jika anak menyakiti orang tua, lalu orang tua memaafkan, maka berarti urusannya telah selesai. Namun jika orang tua tidak memaafkan lantas mendo’akan kejelekan, maka do’a jeleknya itu mustajab. Ini menunjukkan setiap anak tidak boleh menyakiti orang tuanya.

Namun sebagai orang tua pun perlu hati-hati ketika mendo’akan jelek pada anak. Karena jika ia do’akan jelek pada anaknya, itu bisa terkabul tanpa ada penghalang. Sebagaimana ada kisah dari Juraij yang do’a jelek ibunya bisa terkabul. Di mana ibunya berdo’a jelek supaya anaknya melihat wajah pelacur. Kisah ini dijelaskan oleh Rumaysho.Com pada artikel Kisah Juraij dan Doa Jelek Ibunya.

Al Munawi rahimahullah berkata, ”Do’a orang yang terzholimi bisa terkabul karena ia sedang dikuasai kezholiman orang lain. Do’a musafir bisa terkabul karena keterasingan dan kesendirian dirinya di perjalanan. Sedangkan do’a orang tua bisa terkabul karena kedudukan orang tua yang mulia.”

Moga kita bisa jadi anak yang berbakti. Moga kita bisa pula memanfaatkan waktu-waktu mustajab untuk berdo’a. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:
Syarh Shahih Al Adabil Mufrod lil Imam Al Bukhari, Husain bin ’Uwaidah Al ’Uwaisyah, terbitan Maktabah Al Islamiyah, cetakan kedua, tahun 1425 H.
Rosysyul Barod Syarh Al Adabil Mufrod, Dr. Muhammad Luqman As Salafi, terbitan Darud Daa’i, cetakan pertama, tahun 1426 H.
---

Sumber:
http://rumaysho.com/

Kisah Juraij dan Doa Jelek Orang Tuanya


Kisah Juraij dan Doa Jelek Orang Tuanya

Ada kisah menarik yang bisa diambil pelajaran akan ampuhnya do’a jelek seorang ibu pada anaknya, yaitu pada kisah Juraij. Jika tahu demikian, sudah barang tentu seorang anak kudu memuliakan orang tuanya. Jangan sampai ia membuat orang tuanya marah, sehingga keluar kata atau do’a jelek yang bisa mencelakakan dirinya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, ”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا تَكَلَّمَ مَوْلُوْدٌ مِنَ النَّاسِ فِي مَهْدٍ إِلاَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ [وَسَلَّمَ] وَصَاحِبُ جُرِيْجٍ" قِيْلَ: يَا نَبِيَّ اللهِ! وَمَا صَاحِبُ جُرَيْجٍ؟ قَالَ: "فَإِنَّ جُرَيْجًا كَانَ رَجُلاً رَاهِباً فِي صَوْمَعَةٍ لَهُ، وَكَانَ رَاعِيُ بَقَرٍ يَأْوِي إِلَى أَسْفَلِ صَوْمَعَتِهِ، وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ تَخْتَلِفُ إِلَى الرَّاعِي، فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًٍا فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ! وَهُوَ يُصّلِّى، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ - وَهُوَ يُصَلِّي - أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ! حَتىَّ تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ. ثُمَّ انْصَرَفَتْ فَأُتِيَ الْمَلِكُ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ وَلَدَتْ. فَقَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَتْ: مِنْ جُرَيْجٍ. قَالَ: أَصَاحِبُ الصَّوْمَعَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: اِهْدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَأْتُوْنِي بِهِ، فَضَرَبُوْا صَوْمَعَتَهُ بِالْفُئُوْسِ، حَتىَّ وَقَعَتْ. فَجَعَلُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ بِحَبْلٍ؛ ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ، فَمَرَّ بِهِ عَلَى الْمُوْمِسَاتِ، فَرَآهُنَّ فَتَبَسَّمَ، وَهُنَّ يَنْظُرْنَ إِلَيْهِ فِي النَّاسِ. فَقَالَ الْمَلِكُ: مَا تَزْعُمُ هَذِهِ؟ قَالَ: مَا تَزْعُمُ؟ قَالَ: تَزْعُمُ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْكَ. قَالَ: أَنْتِ تَزْعَمِيْنَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: أَيْنَ هَذَا الصَّغِيْرُ؟ قَالُوْا: هَذَا فِي حُجْرِهَا، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَنْ أَبُوْكَ؟ قَالَ: رَاعِي الْبَقَرِ. قَالَ الْمَلِكُ: أَنَجْعَلُ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: مِنْ فِضَّةٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَمَا نَجْعَلُهَا؟ قَالَ: رَدُّوْهَا كَمَا كَانَتْ. قَالَ: فَمَا الَّذِي تَبَسَّمْتَ؟ قَالَ: أَمْراً عَرَفْتُهُ، أَدْرَكَتْنِى دَعْوَةُ أُمِّي، ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ
"Tidak ada bayi yang dapat berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan (bayi di masa) Juraij" Lalu ada yang bertanya,”Wahai Rasulullah siapakah Juraij?" Beliau lalu bersabda, ”Juraij adalah seorang rahib yang berdiam diri pada rumah peribadatannya (yang terletak di dataran tinggi/gunung). Terdapat seorang penggembala yang menggembalakan sapinya di lereng gunung tempat peribadatannya dan seorang wanita dari suatu desa menemui penggembala itu (untuk berbuat mesum dengannya).

(Suatu ketika) datanglah ibu Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia sedang melaksanakan shalat, ”Wahai Juraij." Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ”Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan shalatku?" Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya.  Juraij kembali bertanya di dalam hati, ”Ibuku atau shalatku?" Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya, ”lbuku atau shalatku?" Rupanya dia tetap mengutamakan shalatnya. Ketika sudah tidak menjawab panggilan, ibunya berkata, "Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai Juraij sampai wajahmu dipertontonkan di depan para pelacur." Lalu ibunya pun pergi meninggalkannya.

Wanita yang menemui penggembala tadi dibawa menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak. Raja itu bertanya kepada wanita tersebut, ”Hasil dari (hubungan dengan) siapa (anak ini)?" "Dari Juraij", jawab wanita itu. Raja lalu bertanya lagi, "Apakah dia yang tinggal di tempat peribadatan itu?" "Benar", jawab wanita itu. Raja berkata, ”Hancurkan rumah peribadatannya dan bawa dia kemari." Orang-orang lalu menghancurkan tempat peribadatannya dengan kapak sampai rata dan mengikatkan tangannya di lehernya dengan tali lalu membawanya menghadap raja. Di tengah perjalanan Juraij dilewatkan di hadapan para pelacur. Ketika melihatnya Juraij tersenyum dan para pelacur tersebut melihat Juraij yang berada di antara manusia.

Raja lalu bertanya padanya, "Siapa ini menurutmu?" Juraij balik bertanya, "Siapa yang engkau maksud?" Raja berkata, "Dia (wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan denganmu." Juraij bertanya, "Apakah engkau telah berkata begitu?" "Benar", jawab wanita itu. Juraij lalu bertanya, ”Di mana bayi itu?" Orang-orang lalu menjawab, "(Itu) di pangkuan (ibu)nya." Juraij lalu menemuinya dan bertanya pada bayi itu, ”Siapa ayahmu?" Bayi itu menjawab, "Ayahku si penggembala sapi."

Kontan sang raja berkata, "Apakah perlu kami bangun kembali rumah ibadahmu dengan bahan dari emas?" Juraij menjawab, "Tidak perlu". "Ataukah dari perak?" lanjut sang raja. "Jangan", jawab Juraij. "Lalu dari apa kami akan bangun rumah ibadahmu?", tanya sang raja. Juraij menjawab, "Bangunlah seperti sedia kala." Raja lalu bertanya, "Mengapa engkau tersenyum?" Juraij menjawab, "(Saya tertawa) karena suatu perkara yang telah aku ketahui, yaitu terkabulnya do’a ibuku terhadap diriku.” Kemudian Juraij pun memberitahukan hal itu kepada mereka.”

(Disebutkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod) [Dikeluarkan pula oleh Bukhari: 60-Kitab Al Anbiyaa, 48-Bab ”Wadzkur fil kitabi Maryam”. Muslim: 45-Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab, hal. 7-8]

Pelajaran dari Kisah Juraij
1- Hadits ini menunjukkan keutamaan orang berilmu dibanding ahli ibadah. Seandainya Juraij seorang alim (yang berilmu), maka tentu ia akan lebih memilih untuk menjawab panggilan ibunya dibanding melanjutkan shalat.

2- Seorang anak harus berhati-hati dengan kemarahan orang tuanya. Karena jika ia sampai membuat orang tua marah dan orang tua mendoakan jelek, maka itu adalah do’a yang mudah diijabahi. Ia tahu akan hal itu, sehingga membuatnya tersenyum.
3- Bukti do’a jelek dari ibu terkabul karena Juraij akhirnya dipertontonkan di hadapan wanita pelacur sebagaimana do’a ibunya.

4- Berbakti pada orang tua adalah akhlak mulia, lebih-lebih lagi berbakti pada ibu.

5- Juraij menunjukkan sikap yang benar ketika menghadapi masalah yaitu harus yakin akan pertolongan Allah.

6- Zuhudnya Juraij karena hanya meminta tempat ibadahnya dibangun seperti sedia kala. Ia tidak minta diganti dengan emas atau perak.

7- Ketika musibah menimpa, barulah orang ingat akan dosa, ada juga yang mengingat akan do’a jelek yang menimpa dirinya seperti dalam kisah Juraij ini.

8- Bakti pada orang tua adalah wajib, termasuk di antaranya adalah memenuhi panggilannya. Sedangkan shalat sunnah hukumnya sunnah, artinya berada di bawah bakti pada ortu.

9- Do’a ibu Juraij tidak berlebihan yaitu tidak sampai mendoakan Juraij terjerumus dalam perbuatan keji (zina). Ia hanya do’akan agar Juraij dipertontonkan di hadapan para pelacur, tidak lebih dari itu.

10- Tawakkal dan keyakinan yang tinggi pada Allah akan membuat seseorang keluar dari musibah.

11- Jika ada dua perkara yang sama-sama penting bertabrakan, maka dahulukan perkara yang paling penting. Seperti ketika bertabrakan antara memenuhi panggilan ibu ataukah shalat sunnah, maka jawabnya, memenuhi panggilan ibu.

12- Allah selalu memberikan jalan keluar (jalan kemudahan) bagi para wali-Nya dalam kesulitan mereka. Baca pula artikel: 1 Kesulitan Mustahil Mengalahkan 2 Kemudahan.

13- Hadits ini menunjukkan adanya karomah wali, berbeda halnya dengan Mu’tazilah yang menolak adanya karomah tersebut.

Hanya Allah yang memberi taufik pada ilmu dan amal.

Referensi:
Syarh Shahih Al Adabil Mufrod lil Imam Al Bukhari, Husain bin ’Uwaidah Al ’Uwaisyah, terbitan Maktabah Al Islamiyah, cetakan kedua, tahun 1425 H.

Rosysyul Barod Syarh Al Adabil Mufrod, Dr. Muhammad Luqman As Salafi, terbitan Darud Daa’i, cetakan pertama, tahun 1426 H.
---
Sumber:

Valentine's Day

Valentine's Day
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah
 
Di antara bencana yang menimpa pemuda Islam adalah sikap latah meniru kebiasaan orang kafir. Salah satu di antaranya, memeriahkan Valentine’s Day. Valentine’s day, 100% datang dari orang kafir.
 
Kita semua sepakat bahwa valentine datang dari budaya non muslim. Terlalu banyak referensi tentang sejarah dan latar belakang munculnya hari valentine, yang mengupas hal itu. Saking banyaknya, mungkin kuranng bijak jika kami harus mengulas ulang pembahasan yang sudah berceceran tentang sejarah valentine’s. Untuk itu, kami di sini hanya ingin meyakinkan bahwa valentine murni dari orang kafir.
 
Klaim: Kami mengakui bahwa valentine’s day buatan orang kafir, tapi kami sama sekali tidak melakukan ritual mereka. Kami hanya menjadikan hari ini sebagai hari untuk mengungkapkan rasa cinta kepada kekasih. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan acara keagamaan. Apakah ini tetap dilarang?
 
Jawab:
Alasan ini tidak dapat diterima. Setelah Anda memahami bahwa hari valentine adalah budaya orang kafir, ada beberapa konsekuensi yang perlul Anda pahami:
 
Pertama, turut memeriahkan valentine’s day dengan cara apapun, sama saja dengan meniru kebiasaan orang kafir. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan ancaman yang sangat keras, bagi orang yang meniru kebiasaan orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
“Siapa yang meniru suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani).
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
 
وهذا الحديث أقل أحواله أن يقتضي تحريم التشبه بهم ، وإن كان ظاهره يقتضي كفر المتشبه بهم كما في قوله : { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ }
“Hadis ini, kondisi minimalnya menunjukkan haramnya meniru kebiasaan orang kafir. Meskipun zahir (makna tekstual) hadis menunjukkan kufurnya orang yang meniru kebiasaan orang kafir. Sebagaiman firman Allah Ta’ala yang artinya, ‘Siapa di antara kalian yang memberikan loyalitas kepada mereka (orang kafir itu), maka dia termasuk bagian orang kafir itu’. (QS. Al-Maidah: 51).” (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, 1:214)
 
Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan tujuan meniru kebiasaan orang kafir itu. Beliau juga tidak memberikan batasan bahwa meniru yang dilarang adalah meniru dalam urusan keagamaan atau mengikuti ritual mereka. Sama sekali tidak ada dalam hadis di atas. Karena itu, hadis ini berlaku umum, bahwa semua sikap yang menjadi tradisi orang kafir, maka wajib ditinggalkan dan tidak boleh ditiru.

Kedua, memeriahkan hari raya orang kafir, apapun bentuknya, meskipun hanya dengan main-main, dan sama sekali tidak diiringi dengan ritual tertentu, hukumnya terlarang.
 
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, beliau menjumpai masyarakat Madinah merayakan hari raya Nairuz dan Mihrajan. Hari raya ini merupakan hari raya yang diimpor dari orang Persia yang beragama Majusi. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, beliau bersabda,
 
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ ، وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ النَّحْرِ ، وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya mendatangi kalian (di Madinah), sementara kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyah. Padahal Allah telah memberikan dua hari yang lebih baik untuk kalian: Idul Qurban dan Idul Fitri”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, dan dishahihkan Syaikh Ali Al-Halabi)
 
Mari kita simak dengan seksama hadis di atas. Penduduk Madinah, merayakan Nairuz dan Mihrajan bukan dengan mengikuti ritual orang Majusi. Mereka merayakan dua hari raya itu murni dengan main-main, saling memberi hadiah, saling berkunjung, dst. Meskipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarang mereka untuk merayakannya, menjadikannya sebagai hari libur, atau turut memeriahkan dengan berbagai kegembiraan dan permainan. Sekali lagi, meskipun sama sekali tidak ada unsur ritual atau peribadatan orang kafir.
 
Oleh karena itu, meskipun di malam valentine’s sekaligus siang harinya, sama sekali Anda tidak melakukan ritual kesyirikan, meskipun Anda hanya membagi coklat dan hadiah lainnya, apapun alasannya, Anda tetap dianggap turut memeriahkan budaya orang kafir, yang dilarang berdasarkan hadis di atas.
 
Bertaubatlah wahai kaum muslimin…
Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 
وَلاَ ظَهَرَتِ الْفَاحِشَةُ فِى قَوْمٍ قَطُّ إِلاَّ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْمَوْتَ
“Jika perbuatan kekejian sudah merebak dan dilakukan dengan terang-terangan di tengah-tengah masyarakat, maka Allah akan menimpakan kehancuran kepada mereka.” (HR. Hakim dan beliau shahihkan, serta disetujui Ad-Dzahabi)
 
Allahu Akbar, bukankah ini ancaman yang sangat menakutkan. Gara-gara perbuatan mereka yang tidak bertanggung jawab itu, bisa jadi Allah menimpakan berbagai bencana yang membinasakan banyak manusia. Ya.. valentine’s day, telah menyumbangkan masalah besar bagi masyarakat. Sangat tepat seperti kisah Nabi Musa ‘alaihis salam yang berdoa kepada Allah, karena kelancangan yang dilakukan kaumnya yang menyembah anak sapi. Allah abadikan dalam firman-Nya,
 
إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ (152)وَالَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِهَا وَآمَنُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (153) وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الْأَلْوَاحَ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ (154) وَاخْتَارَ مُوسَى قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا فَلَمَّا أَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ قَالَ رَبِّ لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشَاءُ أَنْتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang BODOH di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf: 153 – 155)
 
Karena itu, kami mengajak kepada mereka yang masih lurus fitrahnya. Berusahalah untuk banyak istighfar kepada Allah. Perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Kita berharap, dengan banyaknya istigfar yang kita ucapkan di malam zina ini, semoga Allah mengampuni hamba-hamba-Nya. Musa memohon ampunan kepada Allah, disebabkan ulah kaumnya yang bodoh, yang mengundang murka Allah.
 
Yaa Allah.., akankah Engkau membinasakan kami disebabkan ulah orang-orang BODOH di malam valentine?
 
Ampunilah kami Yaa, Allah..
 
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewab Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com dengan ringkasan dari Admin Lentera Langit

Tulisan Seorang Muallaf, Dewa Matahari di Perayaan Tahun Baru & Pandangan Islam

Dewa Matahari di Perayaan Tahun Baru

Setiap akhir tahun biasanya semua manusia di dunia ini tidak terkecuali kaum Muslim mengalami wabah penyakit yang luar biasa, pengidap penyakit ini biasanya menjadi suka menghamburkan harta untuk berhura-hura, euforia yang berlebihan, pesta pora dengan makanan yang mewah, minum-minum semalam penuh, lalu mendadak ngitung (3.., 2.., 1.. Dar Der Dor!).

Wabah itu bukan flu burung, bukan juga kelaparan, tapi wabah penyakit akhir tahun yang kita biasa sebut dengan tradisi perayaan tahun baruan. Kaum muda pun tak ketinggalan merayakan tradisi ini. Kalo yang udah punya gandengan merayakan dengan jalan-jalan konvoi keliling kota, pesta di restoran, kafe, warung (emang ada ya?)

Kalo yang jomblo yaa.. tiup terompet, baik terompet milik sendiri ataupun minjem (bagi yang nggak punya duit). Kalo yang kismin, ya minimal jalan-jalan naik truk bak sapi lah, sambil teriak-teriak nggak jelas.

Dan bagi kaum adam yang normal menurut pandangan jaman ini, kesemua perayaan itu tidaklah lengkap tanpa kehadiran kaum hawa. Karena seperti kata iklan “nggak ada cewe, nggak rame”

Bahkan di kota-kota besar, tak jarang setelah menunggu semalaman pergantian tahun itu mereka mengakhirinya dengan perbuatan-perbuatan terlarang di hotel atau motel terdekat.
Yah itulah sedikit cuplikan fakta yang sering kita lihat, dengar, dan rasakan menjelang malam-malam pergantian tahun. Ini dialami oleh kaum muslimin, khususnya para anak muda yang memang banyak sekali warna dan gejolaknya. Nah, sebagai pemuda-pemudi muslim yang cerdas, agar kita nggak salah langkah di tahun baruan ini, maka kita harus menyimak gimana seharusnya kita menyikapi momen yang satu ini.

Asal muasal tahun baruan
Awal muasal tahun baru 1 Januari jelas dari praktik penyembahan kepada dewa matahari kaum Romawi. Kita ketahui semua perayaan Romawi pada dasarnya adalah penyembahan kepada dewa matahari yang disesuaikan dengan gerakan matahari.

Sebagaimana yang kita ketahui, Romawi yang terletak di bagian bumi sebelah utara mengalami 4 musim dikarenakan pergerakan matahari. Dalam perhitungan sains masa kini yang juga dipahami Romawi kuno, musim dingin adalah pertanda ’mati’ nya matahari karena saat itu matahari bersembunyi di wilayah bagian selatan khatulistiwa.

Sepanjang bulan Desember, matahari terus turun ke wilayah bahagian selatan khatulistiwa sehingga memberikan musim dingin pada wilayah Romawi, dan titik tterjauh matahari adalah pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Lalu mulai naik kembali ketika tanggal 25 Desember. Matahari terus naik sampai benar-benar terasa sekitar 6  hari kemudian.

Karena itulah Romawi merayakan rangkaian acara ’Kembalinya Matahari’ menyinari bumi sebagai perayaan terbesar. Dimulai dari perayaan Saturnalia (menyambut kembali dewa panen) pada tanggal 23 Desember. Lalu perayaan kembalinya Dewa Matahari (Sol Invictus) pada tanggal 25 Desember. Sampai tanggal 1-5  Januari yaitu Perayaan Tahun Baru (Matahari Baru)

Orang-orang Romawi merayakan Tahun Baru ini biasa dengan berjudi, mabuk-mabukan, bermain perempuan dan segala tindakan keji penuh nafsu kebinatangan diumbar disana. Persis seperti yang terjadi pada saat ini.

Ketika Romawi menggunakan Kristen sebagai agama negara, maka terjadi akulturasi agama Kristen dengan agama pagan Romawi. Maka diadopsilah tanggal 25 Desember sebagai hari Natal, 1 Januari sebagai Tahun Baru dan Bahkan perayaan Paskah (Easter Day), dan banyak perayaan dan simbol serta ritual lain yang diadopsi.

Bahkan untuk membenarkan 1 Januari sebagai perayaan besar, Romawi menyatakan bahwa Yesus yang lahir pada tanggal 25 Desember menurut mereka disunat 6 hari setelahnya yaitu pada tanggal 1 Januari, maka perayaannya dikenal dengan nama ’Hari Raya Penyunatan Yesus’ (The Circumcision Feast of Jesus)

Pandangan Islam terhadap Perayaan Tahun Baru’Ala kulli hal, yang ingin kita sampaikan disini adalah bahwa ’Perayaan Tahun Baru’ dan derivatnya bukanlah berasal dari Islam. Bahkan berasal dari praktek pagan Romawi yang dilanjutkan menjadi perayaan dalam Kristen. Dan mengikuti serta merayakan Tahun baru adalah suatu keharaman di dalam Islam.
Dari segi budaya dan gaya hidup, perayaan tahun baruan pada hakikatnya adalah senjata kaum kafir imperialis dalam menyerang kaum muslim untuk menyebarkan ideologi setan yang senantiasa mereka emban yaitu sekularisme dan pemikiran-pemikiran turunannya seperti pluralisme, hedonisme-permisivisme dan konsumerisme untuk merusak kaum muslim, sekaligus menjadi alat untuk mengeruk keuntungan besar bagi kaum kapitalis.

Serangan-serangan pemikiran yang dilakukan barat ini dimaksudkan sedikitnya pada 3 hal yaitu (1) menjauhkan kaum muslim dari pemikiran, perasaan dan budaya serta gaya hidup yang Islami, (2) mengalihkan perhatian kaum muslim atas penderitaan dan kedzaliman yang terjadi pada diri mereka, dan (3) menjadikan barat sebagai kiblat budaya kaum muslimin khususnya para pemuda.

Ketiga hal tersebut jelas terlihat pada perayaan tahun baru yang dirayakan dan dibuat lebih megah dan lebih besar daripada hari raya kaum muslimin sendiri. Tradisi barat merayakan tahun baru dengan berpesta pora, berhura-hura diimpor dan diikuti oleh restoran, kafe, stasiun televisi dan pemerintah untuk mangajarkan kaum muslimin perilaku hedonisme-permisivisme dan konsumerisme.

Kaum muslim dibuat bersenang-senang agar mereka lupa terhadap penderitaan dan penyiksaan yang terjadi atas saudara-saudara mereka sesama muslim. Dan lewat tahun baruan ini pula disiarkan dan dipropagandakan secara intensif budaya barat yang harus diikuti seperti pesta kembang api, pesta minum minuman keras serta film-film barat bernuansa persuasif di televisi.

Semua hal tersebut dilakukan dengan bungkus yang cantik sehingga kaum muslimin kebanyakan pun tertipu dan tanpa sadar mengikuti budaya barat yang jauh dari ajaran Islam. Anggapan bahwa tahun baru adalah “hari raya baru” milik kaum muslim pun telah wajar dan membebek budaya barat pun dianggap lumrah.

Walhasil, kaum secara i’tiqadi dan secara logika seorang muslim tidak layak larut dan sibuk dalam perayaan haram tahun baruan yang menjadi sarana mengarahkan budaya kaum muslim untuk mengekor kepada barat dan juga membuat kaum muslimin melupakan masalah-masalah yang terjadi pada mereka.

Dan hal ini juga termasuk mengucapkan selamat Tahun Baru, menyibukkan diri dalam perayaan tahun baru, meniup terompet, dan hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan orang-orang kafir. Wallahua’lam

Felix Siauw
follow me on twitter @felixsiauw

Sumber

Judul Asli:  Dewa Matahari di Perayaan Tahun Baru & Pandangan Islam

Inilah Syubhat Seputar Natal

say no to natal
Oleh: Habib Muhammad Rizieq Syihab, Lc, MA

Jakarta – Pada tanggal 1 Jumadil Ula 1401 H / 7 Maret 1981 M, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Natal Bersama yang intinya bahwa mengikuti Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya HARAM, dengan hujjah antara lain: Surat Al-Kaafiruun 1 - 6, Surat Al-Baqarah : 42, Hadits Nu'man ibnu Ba'syir tentang Syubhat, dan Kaidah Ushul "Dar'ul Mafaasid Muqaddamun 'alaa Jalbil Mashaalih" (Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil mashlahat).


Ketika itu, Rezim yang berkuasa tidak suka terhadap Fatwa MUI tentang Natal Bersama, karena dianggap anti toleransi dan bertentangan dengan semangat pluralisme. Lalu MUI dipaksa untuk mencabut Fatwanya, tapi almarhum Buya Hamka selaku Pimpinan MUI kala itu lebih suka meletakkan jabatannya daripada menarik kembali Fatwa tersebut, demi untuk menjaga aqidah umat Islam.

Belakangan, tampil sejumlah "Tokoh Islam" yang menggulirkan "Fatwa" bahwa Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya BOLEH, dengan menyampaikan sejumlah argumentasi yang tidak lepas dari MANIPULASI HUJJAH dan KORUPSI DALIL. Fatwa Kontroversial mereka tersebut sangat digandrungi oleh KAUM SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme), bahkan dijadikan Rujukan Utama hingga kini. Fatwa Aneh tersebut telah menebar SYUBHAT yang melahirkan FITNAH di tengah umat Islam.

Syubhat Natal adalah pemutar-balikkan ayat mau pun hadits untuk menyamarkan hukum Natal yang sebenarnya sudah jelas keharamannya, sehingga Natal Haram diupayakan menjadi Natal Halal, sekurangnya menjadi Natal Syubhat. Berikut beberapa Syubhat Natal dan jawabannya :

1. SYUBHAT PERTAMA :
Dalam Al-Qur'an cukup banyak ayat yang bercerita tentang Nabi 'Isa as sekaligus menjadi hujjah bahwa umat Islam wajib mencintai, menghormati dan mengimani beliau sebagai salah seorang Rasul. Bahkan dalam Surat Maryam : 33, Allah swt menceritakan ucapan Nabi 'Isa as yang berbunyi : "Wassalaamu 'alayya yauma wulidtu wa yauma amuutu wa yauma ub'atsu hayyan" (Keselamatan atasku di hari aku dilahirkan dan hari aku mati serta hari aku dibangkitkan dalam keadaan hidup). Dengan dasar itu semua, maka merayakan dan saling mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi 'Isa as menjadi sejalan dengan semangat Al-Qur'an, sekaligus menjadi bukti cinta, hormat dan iman kita kepada Nabi 'Isa as.

JAWABAN :
Iman kepada Para Rasul merupakan salah satu Rukun Iman. Dan Nabi 'Isa as merupakan salah satu Rasul yang wajib diimani. Mengekspresikan cinta dan hormat serta iman kepada Nabi 'Isa as yang paling utama adalah dalam bentuk memposisikan beliau sebagai Hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menolak segala bentuk PENUHANAN terhadap dirinya. Jadi, pengekspresian tersebut tidak mesti dengan memperingati Hari Lahirnya.

Andaikata pun kita ingin merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as dengan dasar ayat 33 Surat Maryam, maka kita akan kesulitan menentukan tanggalnya, karena tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an atau Hadits Nabi saw atau Atsar dari Shahabat, Tabi'in mau pun Tabi'it Tabi'in, yang menginformasikan tentang tanggal kelahiran Nabi 'Isa as.

2. SYUBHAT KEDUA :
Dalam Hadits Muttafaqun 'Alaihi yang bersumber dari Sayyiduna 'Abdullah ibnu Sayyidina 'Abbas ra diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah menerima informasi dari Yahudi tentang Kemenangan Nabi Musa as di Hari 'Asyura (10 Muharram), lalu Nabi saw dan para Shahabatnya merayakan Kemenangan Musa as di hari itu dengan berpuasa. Jika Nabi saw menerima INFO YAHUDI tentang tanggal bersejarah 10 Muharram sebagai Hari Kemenangan Nabi Musa as lalu merayakannya, maka tidak mengapa kita menerima INFO NASHRANI tentang tanggal bersejarah 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Nabi 'Isa as dan merayakannya pula.

JAWABAN :
Dalam Hadits Muttafaqun 'Alaihi yang lain bersumber dari Sayyidatuna 'Aisyah ra menerangkan bahwa Puasa 'Asyura sudah dilakukan masyarakat Quraisy sejak zaman Jahiliyyah, dan di zaman permulaan Islam menjadi Puasa Wajib hingga diwajibkan Puasa Ramadhan di tahun kedua Hijriyyah.

Jadi, Puasa Nabi saw di Hari 'Asyura bukan meniru-niru perbuatan Yahudi. Apalagi dalam sebuah Hadits Shahih disebutkan tentang niat dan anjuran Nabi saw buat umatnya agar juga Puasa Tasu'a (9 Muharram) untuk membedakan Puasa Umat Islam dengan Puasa Yahudi di hari 'Asyura.. Dengan demikian menjadi jelas bahwa tuntunan Nabi saw adalah tidak meniru-niru perbuatan kaum kafirin, apalagi dalam sebuah Hadits lainnya beliau saw menegaskan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian darinya.

Memang, sikap Nabi saw yang diartikan sebagai bentuk perayaan terhadap Hari Kemenangan Nabi Musa as bisa dijadikan dalil pembenaran syar'i bagi perayaan Hari Bersejarah seorang Nabi atau Rasul, termasuk Hari Lahir Nabi 'Isa as. Namun itu tidak boleh dijadikan dalil pembenaran syar'i bagi tanggal 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Nabi 'Isa as. Apalagi dijadikan dalil buat meniru-niru Nashrani dalam merayakan Natal.

Penerimaan Nabi saw terhadap INFO YAHUDI tentang tanggal 10 Muharram sebagai Hari Kemenangan Nabi Musa as menjadi PEMBENARAN SYAR'I bagi info tersebut, karena Sunnah Nabi saw adalah sumber hukum Islam yang autentik setelah Al-Qur'an. Artinya, info itu menjadi benar bukan karena datangnya dari Yahudi, tapi karena DIBENARKAN oleh Nabi saw. Sedang INFO NASHRANI tentang tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi 'Isa as tidak memiliki PEMBENARAN SYAR'I sama sekali, sehingga tidak bisa dibenarkan.

3. SYUBHAT KETIGA :
Ada Hadits Rasulullah saw yang membolehkan umat Islam menyampaikan berita yang berasal dari Ahlul Kitab. Karenanya, jika Nashrani di seantero dunia sudah sepakat merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa pada tanggal 25 Desember, maka itu bisa menjadi bagian berita Ahlul Kitab yang boleh kita terima. 

JAWABAN :
Memang, ada Hadits tentang kebolehan menyampaikan berita Ahlul Kitab, tapi ada Hadits juga yang mengarahkan umat Islam agar tidak mempercayai (membenarkan) dan tidak pula mendustakan (menyalahkan) berita Ahlul Kitab. Maksud berita Ahlul Kitab adalah segala info yang datang dari Kitab-kitab suci atau Doktrin Asli ajaran agama Yahudi dan Nashrani. Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengklasifikasikan berita Ahlul Kitab menjadi tiga katagori, yaitu :

a. Info yang dibenarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka wajib diterima,
b. Info yang ditentang Al-Qur'an dan As-Sunnah maka wajib ditolak.
c. Info yang tidak dibenarkan dan tidak pula ditentang Al-Qur-an dan As-Sunnah maka wajib tawaqquf, yaitu tidak menerima dan tidak juga menolak.


Lalu, berita Hari Lahir Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember masuk katagori berita Ahlul Kitab yang mana ? Atau bahkan tidak termasuk katagori yang mana pun ?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, harus dilihat terlebih dahulu tentang Hari Lahir Nabi 'Isa as dalam Bibel. Berikut DATA BIBEL tentang Kelahiran Nabi 'Isa as : 

A. Lukas 2 : 4 – 7
Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa Sayyidatuna Maryam as saat hamil tua bermusafir ke Yerusalem, setibanya disana ia tidak mendapatkan penginapan karena semuanya sudah penuh terisi, sehingga ia melahirkan di palungan (tempat jerami). Lalu dalam Lukas 2 : 41 ada keterangan bahwa setiap tahun Orang tua Nabi 'Isa as datang mengunjungi Yerusalem di Hari Raya Paskah yaitu Hari Raya Bani Israil yang jatuh pada awal musim gugur. Itulah sebabnya, walau hamil tua Sayyidatuna Maryam as tetap musafir karena pentingnya Hari Raya tersebut, dan itu pula sebabnya semua penginapan penuh karena di Hari Raya tersebut semua Bani Israil mendatangi Yerusalem. Artinya, menurut DATA BIBEL bahwa Nabi 'Isa as lahir di awal musim gugur, dan itu tentu bukan bulan Desember melainkan awal Sepetember.

B. Lukas 2 : 8 – 11
Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa di malam kelahiran Nabi 'Isa as, di sekitar Yerusalem para gembala sedang menjaga kawanan ternaknya di padang terbuka. Dan dalam Ezra 10 : 9 - 13 serta Kidung Agung (Nyanyian Solomon) 2 : 9 - 11, ada keterangan bahwa di musim hujan / dingin semua ternak disimpan dalam kandang dan semua manusia berada di rumah, tidak keluar tanpa keperluan yang mendesak, karena mereka tidak sanggup menahan dingin di luar rumah. Dengan demikian, DATA BIBEL ini pun menunjukkan bahwa saat Nabi 'Isa as dilahirkan bukan musim hujan / dingin, karena manusia dan ternak masih sanggup di padang terbuka pada malam hari. Artinya, Nabi 'Isa as tidak dilahirkan bulan Desember, karena Desember di Yerusalem musim hujan dan hawa sangat dingin, sehingga tidak mungkin ada rombongan gembala pada malam hari menjaga kawanan ternak di padang terbuka.

C. I Tawarikh (Chronicle) 24 : 10 dan Lukas 1 : 5 – 38
Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa Nabi Zakaria as dan rombongannya dalam kelompok Abia mendapat tugas menjaga Rumah Tuhan pada giliran ke delapan, dan itu menurut Kalender Hebrew jatuh pada tanggal 27 Iyar - 5 Sivan, atau bertepatan dengan tanggal 1 - 8 Juni (Awal Juni). Lalu ketika tugas itulah Nabi Zakaria as mendapat wahyu tentang kehamilan istrinya yang kelak akan melahirkan Nabi Yahya as. Artinya, 9 bulan setelah tugas itu menurut masa kehamilan normal maka Nabi Yahya as dilahirkan, yaitu awal Maret. Kemudian diinformasikan bahwa usia Nabi 'Isa as 6 bulan lebih muda daripada Nabi Yahya as. Artinya, jika Nabi Yahya as dilahirkan awal Maret maka Nabi 'Isa as dilahirkan 6 bulan sesudahnya, yaitu Awal September.

Dengan demikian DATA BIBEL di atas juga menginformasikan bahwa Nabi 'Isa as tidak dilahirkan bulan Desember.

Seorang Pastur dari Gereja Wolrdwide Church of God di Amerika Serikat, Herbert W. Armstrong (1892-1986), dalam bukunya yang berjudul The Plain Truth About Christmas menyatakan bahwa Nabi 'Isa as tidak dilahirkan bulan Desember, dan Perayaan Hari Raya Natal bukan ajaran asli gereja, melainkan bersumber dari ajaran paganisme (penyembah berhala) yang sejak lama, jauh sebelum kelahiran Nabi 'Isa as, telah merayakan Hari Kelahiran Dewa Mithra sebagai Dewa Matahari mereka pada tanggal 25 Desember.

Pendapat Pastur Herbert tersebut sejalan dengan keterangan dalam Encyclopedia Britannica dan Encyclopedia Americana. Kedua Literatur tersebut mendefinisikan Natal sama seperti pernyataan Pastur Herbert di atas.

Pada tahun 1993, seorang Astronom Inggris, David Hughes dari Universitas Sheffield, dalam sebuah wawancara dengan Britain's Press Association (BPA), yang dikutip oleh Kantor Berita Reuter, menyatakan bahwa Nabi 'Isa as diduga kuat lahir pada tanggal 15 September 7 tahun sebelum Masehi, karena pada tanggal tersebut terjadi siklus pertemuan 840 tahunan sekali antara planet Yupiter dan Saturnus, yang dari permukaan Bumi terlihat bagai Bintang Terang yang langka. Menurutnya, itulah Bintang Terang yang terlihat di malam kelahiran Nabi 'Isa as sebagaimana diinfokan Bibel dalam Matius 2 : 1 -12.

Selain itu, tercatat dalam beberapa literatur sejarah Nashrani, bahwa tiga abad pertama Masehi tidak ada umat Nashrani yang merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as. Dan awal abad keempat Masehi, perayaan tersebut mulai muncul di tengah umat Nashrani, tapi pada tanggal yang berbeda-beda, seperti 6 Januari, 28 Maret, 18 April dan 28 Juni. Baru pada tahun 354 M, Paus Liberius di Roma memutuskan tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi 'Isa as. Keputusan itu diikuti oleh Gereja Roma di Konstantinopel pada tahun 375 M dan di Antakia pada tahun 387 M. Selanjutnya menyebar ke seluruh dunia hingga saat ini.

Kesimpulannya, Data Bibel dan Data Astronomi serta Literatur Kristiani lainnya menolak kemungkinan Kelahiran Nabi 'Isa as pada bulan Desember, sehingga INFO NASHRANI tentang kelahiran Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember adalah info yang tidak termasuk dalam katagori berita Ahlul Kitab, karena Bibel sendiri menolak. Info tersebut adalah INFO FIKTIF yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara Syar'I mau pun secara ilmiah akademis. 

4. SYUBHAT KEEMPAT :
Pada prinsipnya, umat Islam boleh KAPAN SAJA merayakan Hari Kelahiran seorang Nabi atau Rasul, termasuk Hari Lahir Nabi 'Isa as, untuk memuliakan mereka para Utusan Allah SWT. Maka, tidak ada masalah memperingati Hari Lahir Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember atau tanggal lainnya, walau pun tanggal Lahir Nabi 'Isa as masih diperdebatkan kalangan Kristiani sendiri.

Hanya saja, peringatan Hari Lahir Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember lebih tepat untuk membangun toleransi antar umat beragama dalam rangka menyuburkan keharmonisan hubungan Islam - Nashrani. 

JAWABAN :
Justru, merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as bersamaan dengan umat Nashrani pada tanggal 25 Desember menjadi MAZHONNATUL FITAN (sumber fitnah) yang sangat berbahaya, antara lain :

a. Justifikasi kebohongan umat Nashrani dalam penetapan tanggal Hari Lahir Nabi 'Isa as.
b. Justifikasi kesesatan keyakinan umat Nashrani yang merayakan Natal sebagai Hari Lahir Nabi 'Isa as sebagai ANAK TUHAN.
c. Membuat BID'AH DHOLALAH karena merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as dengan dasar INFO FIKTIF NASHRANI.
d. Pencampur-adukkan aqidah haq dengan bathil.
e. Menjerumuskan kalangan awam dari umat Islam yang kebanyakan lemah iman.
f. Pelecehan terhadap kemuliaan Nabi 'Isa as, karena Hari Lahirnya dirayakan dengan Data Dusta, ditambah lagi dibarengi dengan umat Nashrani yang merayakannya sebagai Hari Lahir Anak Tuhan.


Dengan demikian, merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember bukan bentuk toleransi antar umat beragama, tapi bentuk pencampu-adukkan aqidah yang sangat dilarang dalam Islam. Dan itu tidak akan menyuburkan keharmonisan hubungan antar Islam - Nashrani, tapi akan menyuburkan PENDANGKALAN AQIDAH yang bisa mengantarkan kepada pemurtadan.

Sikap umat Islam yang tidak mengganggu umat Nashrani dalam merayakan Natal, dan ikut menjaga kondusivitas suasana dalam masa Natal dan Tahun Baru, serta memberi kesempatan kepada mereka merayakannya secara semarak di berbagai tempat, mulai dari Gereja, Pabrik, Kantor hingga Istora Senayan, sebenarnya sudah LEBIH DARI CUKUP sebagai bentuk toleransi mayoritas Muslim kepada minoritas Nashrani di negeri Indonesia tercinta ini.

5. SYUBHAT KELIMA : 

Andai pun umat Islam tidak merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as bersama umat Kristiani pada tanggal 25 Desember, karena khawatir terganggunya aqidah. tapi setidaknya tidak mengapa sekedar mengucapkan SELAMAT NATAL kepada mereka untuk penghormatan dan maslahat pergaulan. Apalagi bagi Tokoh Islam yang jelas sudah mantap aqidahnya dan diperlukan pemantapan hubungan pergaulan Lintas Agamanya, sehingga kekhawatiran semacam itu tidak perlu ada sekaligus tidak lagi menghalangi Tokoh Islam dalam meningkatkan Dakwah Lintas Agama.

JAWABAN :
Natal secara Estimologi adalah Hari Lahir. Dan secara Terminologi adalah Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan, sebagaimana ditulis oleh berbagai Ensiklopedi. Dan sebutan HARI NATAL hanya digunakan dalam makna Terminologi. Artinya, jika seseorang mengucapkan SELAMAT NATAL maka sesuai makna Terminologinya berarti mengucapkan "Selamat Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan". Dan itu jelas haram bagi umat Islam.

Jika seorang Muslim terlanjur mendapat ucapan Selamat Natal dari siapa pun, maka mesti dijawab dengan Surat AL-IKHLASH yang berintikan Keesaan Allah SWT yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.

Syariat Islam buat semua lapisan umatnya, Ulama dan Awam, Pejabat dan Rakyat, Kaya dan Miskin. Karenanya, apa pun yang menjadi MAZHONNATUL FITAN diharamkan, baik bagi yang imannya kuat, apalagi yang imannya lemah. Lebih-Iebih jika Mazhonnatul Fitannya menyangkut aqidah sebagaimana telah diuraikan tadi.

Bukankah memandang wanita yang tidak halal, apalagi berjabat-tangan dengannya, diharamkan bagi laki-laki, termasuk Rasulullah saw sekali pun, karena hal itu merupakan Mazhonnatul Fitan yang bisa menggerakkan syahwat dan mengundang fitnah. Padahal kita sama tahu dan yakin bahwa IMAN dan TAQWA Rasulullah saw adalah yang terkuat dan terbaik, sehingga syahwat beliau saw tidak akan terpancing hanya dengann memandang atau berjabat-tangan dengan wanita mana pun yang tidak halal baginya, namun sungguh pun demikian beliau saw tidak mau melakukannya karena Mazhonnatul Fitan yang wajib dihindarkan.

Karenanya, tidak ada alasan bagi Tokoh Islam untuk menghalalkan Natal dengan dalih asal aqidah kuat. Bahkan ketokohan mereka semestinya membuat mereka lebih hati-hati dalam bersikap, karena mereka adalah teladan yang akan diikuti umat yang kebanyakan beraqidahkan lemah. Sikap Tokoh Islam yang mengikuti Natal jelas bisa menjerumuskan umat.